Tentang Privilege


Sebuah tantangan menulis dalam waktu 30 menit

Mencoba untuk produktif nulis di kala waktu yang tidak tepat, karena waktu yang tepat terkadang habis untuk rebahan dan nonton youtobe.

Pagi hari yang dimulai dengan scrolling instagram, sekelebat melihat postingan teman yang sedang sakit dan harus operasi, kabar sidangnya juga belum tampak, sehingga masihlah terus membayar UKT per semester.

Kalau dipikir-pikir adakalanya saya sendiri kurang bersyukur padahal masih dititipkan nafas lengkap dengan kesehatan. Masih diberikan kesempatan untuk berkarya, walaupun hasil belum tampak. Masih dipertemukan dengan keluarga yang saling mendukung dan teman-teman yang terkadang masih bertukar kabar.

“Privilege” kalau diarti bahasa indo artinya hak istimewa, hak khusus.

Beberapa hari yang lalu, Maghrib menjelang Isya’, kerabat saya mampir ke rumah, curhatlah dia berbagai hal. Salah satu curhatannya adalah tentang podcast Deddy Corbuzier. Kerabat saya sangat setuju dengan pendapat Deddy soal privilege pengusaha sukses yang kalau koar-koar dia memulai usaha dari nol, sedangkan pada kenyataannya pengusaha itu memang startnya dia dari keluarga menengah ke atas, sehingga menurut si Deddy itu bukan titik nol.

Saya terdiam mendengar ceritanya, kemudian saya bilang kepada kerabat saya, “mungkin, memang benar pengusaha itu berawal dari titik nol, karena titik nol tiap orang berbeda-beda, keadaan terpuruk orang bisa jadi berbeda dan nggak bisa disamakan”.

Saya beragumen seperti itu karena dulu saya pernah berpendapat yang sama dengan kerabat saya. Tapi, lambat laun pandangan itu semua berubah.

Memang keluarga saya bukan keluarga kaya, soal fisik saya juga tergolong pas-pasan. Tapi, saya dulu sering membandingkan diri saya dengan orang lain yang mempunyai waktu penuh entah untuk sekolah, untuk mengerjakan tugas, dll. Waktu saya terbagi karena harus membantu orang tua saya berjualan, merawat adik saya, dan urusan rumah tangga lainnya.

Saya seringkali berdo’a andai saya punya waktu penuh, saya bakal baca banyak buku, ikut banyak lomba, dll. Karena itu adalah privilege yang sangat saya inginkan pada saat itu.

Do’a itu terkabul, orang tua saya sudah mempunyai rewang untuk membantu jualan, adik saya sudah besar, dan saya diberikan waktu penuh untuk mengembangkan usaha pribadi.

Naasnya, ketika privilege itu sudah saya dapatkan, saya malah berleha-leha, saya sering membuang waktu dengan percuma, seringlah nonton drakor sampai berjam-jam, memutar musik tanpa mengerjakan apapun sampai tidak kenal waktu.

Terkadang saya sadar dan kemudian khilaf lagi. Hal itu terus berlanjut sampai tahun sudah berganti.

Oleh sebab itu, saya bilang ke kerabat saya bahwa mungkin itu titik nolnya, titik keterpurukannya. Orang yang berada dalam titik nol, mungkin akan membandingkan berbagai macam privilege dari orang-orang di sekitarnya. Dan ketika seseorang mendapat privilege itu nggak semuanya bisa memanfaatkan dengan baik.

Menurut saya, privilege bukan hanya soal materi, fisik, kecerdasan, tapi juga soal waktu, kesehatan, keluarga dan semua hal lain yang bisa membuatmu tetap berjuang dalam kehidupan ini. Jangan pernah membandingkan privilegemu dengan orang lain, lakukan yang terbaik dari apa yang saat ini kamu punya.

Tulisan ini saya simpan sebagai alarm pribadi saya sendiri dan kalau misalkan ada sedikit manfaat, Alhamdulillah…

Penulis:

perkenalkan nama saya Rizqa. saya adalah salah satu arek Suroboyo dan sekarang saya sedang menempuh pendidikan tinggi di salah satu PTN Surabaya. Semoga blog ini dapat bermanfaat....

Tinggalkan komentar